MENGAPA PROYEK KERJASAMA PEMERINTAH – SWASTA TERSENDAT?
- Rp 560,- triliun akan dibiayai dari APBN;
- Rp 355,- triliun dari APBD;
- Rp 340,- triliun dari BUMN;
- Rp 346,- triliun dari swasta yang akan ditawarkan melalui KPS.
- Masalah Pembebasan Lahan/Tanah, antara lain harus menghadapi:
- Masyarakat pemilik tanah, Pemda terkadang sampai Camat, Lurah bahkan, RW, RT dan masyarakat adat serta pemimpin adat.
- Vested-interest developer atau kepentingan politis tertentu di daerah tempat akan dibangunnya infra struktur; belum lagi bila proyek tersebut harus melintasi daerah-daerah yang mempunyai kewenangan berbeda.
- Lahan-lahan yang dikuasai oleh pemegang HPH (Hak Pengelolaan Hutan) dan lahan yang dikuasai pemegang KP (Kuasa Penambangan)
- Lokasi yang belum pasti; dan ini akan menyebabkan tingginya ongkos yang harus dikeluarkan oleh developer diantaranya untuk biaya Amdal (Analisa Dampak Lingkungan) dan biaya lain-lain.
- Belum terselesaikannya UU tentang Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum yang baru disampaikan Pemerintah, Juli 2010, saat ini masih dalam pembahasan intensif dengan DPR. Sebab, peraturan yang selama ini dipakai Perpres 36/2005 jo Perpres no 65/2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum dan Pembangunan dinilai terlalu lemah.
Masalah Kelembagaan :
Belum tersedianya lembaga khusus yang dapat menjembatani (net work) kepentingan termasuk perizinan antara Pemerintah Pusat dan Daerah maupun dengan swasta serta antara instansi terkait di Pusat dan Daerah sendiri.
Ide one stop service apabila harus dilakukan oleh lembaga seperti BKPM (Badan Koordinasi Penanaman Modal) berhubung dekat dengan pengusaha penanaman modal dalam negeri maupun luar negeri; oleh sebagaian kalangan dianggap tidak akan berjalan efekif karena banyaknya tugas kewenangan yang telah dilimpahkan dan harus ditangani oleh BKPM dalam rangka penanaman modal. Disamping itu, tidak semua kewenangan dapat dilimpahkan kepada BKPM seperti terkait dengan kehutanan, pertambangan, lingkungan, keimigrasian, bea masuk barang modal, pajak dan lain-lain.
Pihak PT. IIF (Indonesia Infrastruktur Fund) dan PT. PII (Penjaminan Infrastruktur Indonesia) beranggapan bahwa untuk percepatan proyek tidak perlu lembaga khusus, karena pelimpahan wewenang serta berbagai proses birokrasi untuk pembentukan lembaga semacam itu akan memakan waktu lama. Diperlukan hanya Tim yang berada langsung dibawah Presiden RI atau Wakil Presiden RI yang dianggap dapat mengkoordinir seluruh instansi terkait untuk percepatan pelaksanaan KPS atau semacam BRR (Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi) Aceh dan Nias saat Tsunami dahulu.
Proyek-proyek dipilih yang mana yang patut memperoleh prioritas kemudian dilaksanakan oleh para developer dibawah koordinasi Tim atau pun lembaga yang akan dibentuk nantinya.
Biaya :
Sampai saat ini tidak ada dana khusus dari Pemerintah untuk pembebasan lahan bagi proyek-proyek KPS. Menurut Pejabat Bank Dunia hal ini tidak menarik bagi investor. Di Cina, India dan Malaysia. Pemerintah masing-masing secara penuh menanggung biaya dan menyiapkan lahan bagi proyek-proyek infrastruktur dinegaranya baru kemudian ditawarkan kepada investor, sehingga investor hanya berurusan dengan pembangunan infrastruktur tanpa harus terlibat dalam masalah pembebasan lahan. Sedangkan di Indonesia masalah lahan harus ditangani sendiri oleh investor dan ini tentu tidak menarik bagi investor. Mengenai biaya pembebasan lahan, Pemerintah Indonesia menurut pejabat Bank Dunia tersebut dapat saja meminjam dari ADB dan lain-lain.
Pemerintah secara matang telah bertekad untuk tidak membuat utang-utang baru, oleh karena itu berupaya keras untuk menutupi kekurangan biaya melalui KPS dan biaya sendiri yang diyakini dapat diperoleh dengan meningkatkan penerimaan pajak, memberantas korupsi, meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan berbagai program lainnya. Lagi pula, daya serap anggaran yang kurang memadai pada lembaga-lembaga Pemerintahan yang diperkirakan baru terserap sebesar 17% sampai akhir Triwulan II 2010, dapat dialihkan untuk biaya pembangunan infrastruktur.
Namun proses pengalihan dana dan pelaksanaannya juga tidak mudah, karena yang dapat menggunakan dana pemerintah untuk pelaksanaan proyek sesuai dengan UU no 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara adalah BLU (Badan Layanan Umum), sedangkan yang akan melaksanakan proyek KPS adalah Badan Usaha (PT Persero/BUMN dan PT swasta) sehingga perlu terobosan atau perubahan Undang-undang apabila program KPS harus menggunakan dana pemerintah atau dilaksanakan oleh Badan Usaha.
Apabila harus meminjam dari Bank-bank BUMN juga tidak mudah karena mereka juga terikat pada ketentuan perusahaan terkait CAR (Capital Adequacy Ratio/Rasio Kecukupan Modal) dan NPL (Non Performing Loan atau performance bank terkait dengan kemampuan pengembalian utang oleh debitur) antara lain bahwa pinjaman hanya dapat diberikan apabila masalah-masalah tanah telah diselesaikan.
Peraturan :
Sesuai Perpres No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur, maka seluruh tender pemerintah yang diikuti dan dimenangkan oleh swasta harus dilaporkan ke DPRD serta harus diproses dan selesai oleh DPR selambat-lambatnya 15 hari kerja, padahal dalam pelaksanaannya dibutuhkan sekurang-kurangnya 6 bulan untuk menyelesaikan dan melaporkan proses tender ke DPRD sampai masuk ke DPRD dan keluarnya persetujuan untuk proyek yang bersangkutan.
Lelang barang pemerintah yang diikuti oleh BUMN atau instansi pemerintah, diatur melalui Keppres No. 80 Tahun 2003, sedangkan tender yang diikuti dan sebagian didanai oleh swasta diatur melalui Perpres No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur. Padahal apabila proyek akan dimulai, tender dalam rangka KPS baik yang dilakukan oleh BUMN dan swasta mitranya harus dilakukan pada saat yang bersamaan. Untuk mengatur agar waktu pelaksanaan tendernya bersamaan bukanlah hal mudah karena keduanya diatur dalam tatanan hukum yang berbeda.
Masalah tanah merupakan hal kunci yang harus diselesaikan sesegera mungkin dan dengan bijak oleh Pemerintah.
Perlu diberikan sosialisasi dan pemahaman kepada pemilih tanah, baik masyarakat, pemilik tanah adat, pemegang HPH, pemegang KP (Kuasa Penambangan) mengenai kesadaran tentang pentingnya sarana dan prasarana infrastruktur bagi masa depan bangsa dan negara ini.
Seyogyanya, karena sudah ada UU No: 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan dengan telah diterbitkannya beberapa peraturan pelaksanaan dari UU no: 26/2007 tersebut maka penetapan lokasi proyek infrastruktur maupun penyelesaian masalah tanah dapat tertanggulangi dengan lebih mudah. Namun tampaknya mengenai masalah tanah ini “mungkin” baru dapat terselesaikan dengan dikeluarkannya UU tentang Pengadaan Tanah serta peraturan-peraturan pelaksanaannya nanti.
Mengenai kelembagaan untuk koordinasi masalah infrastruktur, dapat saja BKPM ditunjuk sebagai lembaga koordinasi untuk proyek-proyek KPS bila Pemerintah menghendaki demikian. Namun, apa pun lembaganya, apakah itu BKPM atau Tim, harus dengan pengawasan yang ketat karena lembaga ini nantinya juga diharapkan dapat menjadi Contracting Agency untuk memediasi masalah-masalah kontrak antara instansi pemerintah/BUMN dan swasta.
Pemerintah juga perlu mempercepat pengadaan peraturan-peraturan yang diperlukan untuk dapat mempercepat pelaksanaan proyek-proyek KPS; antara lain memang akan dikeluarkan Instruksi Presiden untuk percepatan proyek-proyek KPS sebagaimana dilakukan pada proyek KPS tahun 2004-2009; dan tidak kalah pentingnya tentu diperlukan peran DPR dalam mempercepat terbitnya UU Pengadaan Tanah maupun kecepatan penyelesaian persetujuan maupun penolakan DPRD terhadap proyek-proyek KPS yang diajukan ke DPRD sesuai dengan peraturan perundang-undangan; apalagi menimbang tertundanya pelaksanaan proyek-proyek infrastruktur berarti tertundanya pembangunan negara dan bangsa ini secara keseluruhan!
Niat Pemerintah Indonesia untuk tidak melakukan pinjaman untuk pembangunan di negeri ini benar-benar sangat terpuji, apalagi bila mengingat dana yang dibutuhkan didalam negeri baik dana pemerintah sendiri/termasuk bank-bank BUMN juga tersedia, sehingga Indonesia bisa terhindar dari ketergantungan pada dana asing. Walaupun secara komersil juga dapat diperhitungkan dengan matang, untung atau ruginya meminjam dana dari bank-bank asing. Sebenarnya, sepanjang dana tersebut dapat dikembalikan sesuai target, serta keuntungan yang diperoleh dari pembangunan infrastruktur serta dampak positifnya bagi kemaslahatan rakyat banyak dapat jauh lebih besar, serta pengawasan dan tidakan tegas terhadap penyelewengan dilakukan, mengapa tidak?
Yang paling penting diatas segala kesimpulan diatas tentunya komitmen politis dari para penyelenggara negara serta partisipasi masyarakat secara luas tentang pentingnya sarana dan prasarana infrastruktur bagi perbaikan kondisi bangsa dan negara ini kedepan, agar seluruh kesulitan dapat diatasi bersama!
0 comments:
Posting Komentar